Masih sama seperti beberapa minggu, bulan, bahkan tahun sebelumnya. Sebelum menjadi kisah yang dapat dikenang, Lala mengakhiri perasaannya seolah memang harus diakhiri. Keputusasaan selalu berhasil mendominasi isi pikirannya yang sudah selalu dipaksa untuk bisa memahaminya. Ia tak pernah sanggup untuk membangun sebuah hubungan dengan lelaki yang ia sukai. Entah terlalu takut atau tak tahu harus berbuat apa. Tak jarang, Lala mencoba menatap balik dirinya dan bertanya, “Apa ada yang salah dari aku?”. Ini bukan perihal ketidakpercayadirian, tetapi mengenai sesuatu yang lebih dalam. Karena begitu dalam, hanya Lala yang tahu. Semakin besar, semakin terasa, Lala akhirnya menyadari kalau ia tidak pernah mampu melakukan segala hal mendahului yang lain. Terlebih ketika dipertemukan dengan seseorang yang sudah dianggap begitu jauh, ia sudah terlanjur letih, tak akan mengizinkan harapan itu masuk ke dalam hatinya.
Lala tidak menyangka jika ternyata pintu hatinya tertutup serapat ini. Bukannya enggan disalahkan atas pilihannya untuk bertingkah seakan menutup, Lala memang selalu merasa ketakutannya mengalahkan keinginannya. Sebesar apapun rasa ingin memilikinya, akhir cerita tak kunjung berkenan merangkai sebuah kebahagiaan untuk dirinya. Semesta dan seluruh isinya seperti belum juga berencana menghadirkannya. Hari demi hari terlewatkan begitu saja, tidak memunculkan sedikit pun petunjuk agar Lala dapat membuat cerita yang lain dari biasanya. Lelaki yang sempat menaruh perasaannya sekalipun juga hanya bisa menyimpannya untuk dipeluk erat, seerat genggaman seorang ibu pada jari manis buah hatinya. Mungkin di lain waktu, perasaan itu akan kembali tumbuh lebih indah atau sekedar menyenangkan kegelisahannya walau sesaat saja.
Layaknya sebuah petualangan yang terkadang sangat melelahkan raga sang pengelana, Lala juga dipertemukan dengan sebuah momen dimana ia sudah begitu lelah setelah mengalami beberapa kegagalan. Ya, kegagalan dalam perjalanan romansa yang cukup langka namun nyata. Rasa bersalah seketika ikut serta menghinggapi isi benak pikirannya. Lala berandai-andai jika saja ia lebih berani, mungkin semua bentuk kesedihan ini tidak akan pernah ada. Banyak hal memang yang sudah membuatnya jatuh, namun kini Lala jatuh sejatuh-jatuhnya. Walaupun sulit untuk membangkitkannya, Lala perlahan berusaha menata ulang keyakinannya bahwa ia bisa melalui kesedihan itu dengan sebaik-baiknya. Dari sekian pilihan yang bebas bertebaran, Lala memutuskan untuk mencari sumber kebahagiaan lain terlebih dahulu. Beruntungnya, ia sudah memiliki beragam sumber tersebut. Hanya dengan menyelami lagi hobi-hobinya, Lala akan menemukan kesenangan yang sesungguhnya. Rehat sementara, melepaskan segala bentuk romansa.
Seringkali waktu berjalan begitu cepat, tak ada yang menyadari prosesnya. Banyak yang silih berganti termasuk usia menjadi semakin banyak. Lala kini berada di usia yang genting akan segelintir pertanyaan dari orang-orang sekitar mengenai kehidupannya. Ujung-ujungnya, romansa kembali dikaitkan dan Lala belum ingin hal itu terjadi. Saking tidak inginnya, ia tidak segan untuk menunjukkan sikap memberontaknya kepada setiap orang yang mengutarakan pertanyaan kepadanya. Lala tahu betul bahwa upaya yang ia lakukan ini tidak akan bertahan selamanya. Jauh di dalam lubuk hatinya, Lala tak benar-benar merelakan pemberontakannya itu muncul. Sesekali Lala mencoba untuk berdamai dengan dirinya dan berhasil. Memang banyak teman seusianya yang juga mengalami hal yang sama. Namun, perih dan pilunya tidak ada yang sama seperti yang Lala rasakan.
Bukan bermaksud ingin membaguskan diri, tetapi ini memang benar adanya. Dari waktu ke waktu, ada saja lelaki yang berjalan menuju frekuensi yang sama dengan Lala. Sebagian besar berawal dari pandangan pertama yang ternyata berbuah makna manis di baliknya. Sebelum saling bertatap sedemikian intens, Lala sebetulnya sudah menempatkan rasa lebih dulu kepada sosok lelaki itu. Namun karena tidak pernah timbul kesempatan yang dapat menghubungkan mereka berdua, alhasil Lala hanya mencoba menikmati sekumpulan ketidaksengajaan. Tidak menutup kemungkinan ia hanya mengalaminya dalam hitungan jari. Seperti pada suatu siang, Lala dan teman-teman kantornya memutuskan untuk membeli makan di suatu tempat yang ia belum pernah datangi sebelumnya.