Kamis, 26 November 2020

Cerpen: VESPA (belum selesai)

Ada yang kutunggu hampir setiap hari. Padahal datangnya juga suka tidak menentu. Itu terserah padamu atau padaku. Yang penting kita sama-sama menyepakatinya. Bisa saja pagi ketika aku bersiap untuk meninggalkan rumah, malam minggu yang masih belum larut, atau bahkan tiba-tiba di suatu siang, suara itu muncul. Ya, suara vespamu yang begitu nyaring dan berhasil melekat di pikiranku sampai saat ini. Letak kamarku yang kebetulan berada di paling depan membuat aku selalu menjadi orang pertama yang mendengarnya. Ingat betul bagaimana dulu senangnya aku memulai hari-hari yang baru dengan suara yang sama. Dari semalamnya pun, aku sudah sibuk sendiri meriangkan hati. Bukan hanya perihal menyiapkan penampilan yang sejalan. Tapi, aku lebih tergelitik untuk memadukan berbagai hal yang aku alami untuk dijadikan topik pembicaraan sewaktu ditemani vespa kesayanganmu itu.
 

Aku jauh lebih suka suara khas mesin vespamu ketimbang suara-suara yang kerap berseliweran di rumah. Lebih tepatnya di dalam rumahku. Berkali-kali hentakan tangan beradu dengan teriakan yang benar-benar meningkatkan gerah. Kalau bukan ruang tamu, biasanya suara menyebalkan itu berasal dari kamar tidur yang tidak jauh dari kamarku. Kegeraman yang aku rasakan semakin memuncak saat waktu seharusnya aku bisa menenangkan diri senyaman mungkin. Bayangkan ketika kamu sedang terlelap menikmati indahnya mimpimu sekejap semuanya menjadi buyar karena ada suara yang memaksa masuk dari dunia nyata. Jelas kesal bukan main. Bagi sebagian besar orang, bersahabat dengan kasur yang sudah usang sekalipun merupakan salah satu kepingan hidup yang didambakan. Setiap tempat berbaring mengajarkan kita untuk tidak lupa memanjakan tubuh usai pontang-panting menyusuri jalur menuju kepastian.  Melepaskan sejenak apapun yang membebani. Namun sayangnya, aku tidak bisa menikmatinya sesering mereka. Suara dari luar kamarku merampas momen terbaik yang semestinya aku dapatkan bersama kasur yang lembut. Pernah terbesit di benakku untuk mencari tempat berbaring baru sejauh mungkin. Pada akhirnya, aku tidak sekuat itu melakukannya. Ibu  menghentikannya. Ia tidak menahan aku untuk pergi melainkan suara tangisannya yang aku dengar dari kamar lebih mahir menggoyahkan relung hati. Entah sudah berapa banyak air matanya yang sudah bercucuran dengan percuma. Sekuat dan seberapa banyak apapun tangisan Ibu tidak akan pernah mampu merubah kebiasaan ayah yang suka mempergunakan uang dengan seenaknya. Ah, tersebutkan juga panggilan untuk seseorang yang paling tidak ingin kusebutkan. 

Bagiku, ayah tidak sepenuhnya ada di dalam hidupku. Sedari dulu, aku sangat mengerti bahwa hanya ibu seorang yang selalu hadir mengisi keseharianku. Satu lagi sosok yang juga berusaha tetap setia menyambangiku yaitu kamu dan motor vespamu yang bernama Blumik alias si Blue Ciamik. Kalian berdua sukses besar membawaku pergi dari bangunan kecil beratap merah bata dan masih cukup tentram untuk dipandang sebentar dari luar. Tidak heran, sesekali kamu beserta Blumik betah menanti kedatanganku walau hanya di depan pagar. Dengan menikmati suasana luar rumahku itu, kamu juga bisa sambil memutar kembali playlist lagu indie pop andalan kamu tanpa harus merisaukan sedikit suara gaduh dari dalam rumah yang mungkin saja terdengar. 

Orang yang gemar bercerita seperti aku memang ada saja yang ingin dibicarakan. Sesingkat apapun cerita menyenangkan yang dibagikan, selalu aku yakini akan menciptakan kehangatan diantara kita berdua. Cerita yang paling berkesan adalah bagaimana aku sebagai seorang perempuan yang tidak begitu lekat dengan dunia perempuan itu sendiri secara kilat tertarik kepada aneka macam bunga. Sebelumnya aku melihat bunga hanya sebagai pajangan yang lambat laun akan memudar, seakan keberadaannya hanya diinginkan di waktu tertentu saja. Jika ada lelaki yang menawariku antara bunga atau makanan pun aku akan langsung memilih makanan. Cantiknya bunga hanya bisa dipandang sedangkan makanan langsung serasa merubah segala-segalanya jadi lebih baik. Seperti itulah isi pemikiranku tentang bunga. Sampai pada suatu siang penghujung kuliah, sebagian teman-teman perempuanku berkerumun di dekat sudut pintu kelas. Kedua mataku ikut tertuju dimana keramaian itu terletak. Dari jauh, nampaknya mereka seperti sedang merencanakan hal yang seru. Ternyata memang persis seasyik pemikiranku, mereka ingin berpergian ke suatu tempat! Tepatnya taman bunga yang letaknya tidak begitu jauh dari kampus kami. Dengan berbekal secercah keinginan jalan-jalan semata, aku pun mengiyakan untuk ikut serta dalam keseruan tersebut. Di saat teman-temanku saling sahut menyahut mempersiapkan gaya berfoto di tengah rangkaian bunga nanti, aku hanya sesekali memandanginya.