Rabu, 02 Juli 2025

Menjadi Seorang Kpopers

Kalau ditanya, kenapa bisa suka K-pop? Personally, it happened naturally for me. Sebelum mengenal K-pop, aku memang sudah duluan menyukai yang namanya drakor. Yup, drama-drama Korea yang makin kesini, cerita, akting aktornya, penggambaran karakternya dan semua-semuanya, makin keren-keren bangeet!

Berawal dari teman-teman sekelasku saat duduk di bangku SMA, mereka yang begitu semangat memperkenalkan kepadaku Super Junior, sebuah K-pop group jebolan SM Entertainment yang pada saat itu sekitar tahun 2009-2010 sedang tenar-tenarnya dan berhasil memikat hati banyak cewek-cewek, ya termasuk teman-temanku dan tentunya juga aku sendiri hahaha. Beberapa tahun kemudian setelahnya, aku memantapkan hatiku untuk menyukai EXO, menjadi seorang EXOL sampai sekarang!

Menjadi K-popers bukan hanya soal menyukai musik Korea, rupa dan talenta yang dimiliki para artisnya saja. Ini tentang menemukan rasa kebersamaan, semangat, bahkan identitas diri di antara jutaan penggemar lainnya.

Menyukai seseorang memang selalu menyenangkan. Mau bagaimanapun, kehadirannya membuat kita yang menyukainya merasa bahagia itu begitu nyata. Ini yang aku rasakan sepanjang menjadi seorang K-popers. Walaupun idolaku tidak pernah mengenalku, rasanya aku selalu menerima rasa cinta yang sepadan. Ada banyak interaksi di antara kita, sederhana tetapi menggetarkan. 

Dari sini, aku juga belajar lebih mencintai diriku sendiri seperti bagaimana idola-idola yang aku suka, mencintai semua penggemarnya. Mereka ingin kita sebagai fans yang mereka selalu sayangi juga bahagia bukan hanya karena mereka ada, tetapi memang kita sendiri layak mendapatkannya. 

Sama seperti kita, seorang idola adalah manusia biasa yang juga menangis di saat sedih, tertawa saat lelah, dan tetap kuat meski terjatuh. Melihat mereka tetap berjuang, kita pun menjadi tergerak untuk tidak menyerah. Dengan sepenuh hati dan versi terbaiknya, K-pop idol mengajak kita melakukan hal-hal yang baik. Beragam bentuk keindahan akan selalu hadir untuk kita yang terus berusaha. 

Dengan menjadi salah satu bagian dari suatu fandom, aku juga dipertemukan dengan beragam macam orang yang memberikanku alasan untuk tetap tersenyum. Kita membagikan keceriaan bersama saat melihat idola kita begitu senangnya dan memberikan dukungan sebanyak yang kita inginkan untuk menunjukkan besarnya rasa sayang kita terhadap seorang idola yang selalu percaya pada dirinya sendiri.

Cinta yang sederhana tapi tulus dan terkadang, itu saja sudah cukup. Tentang menjadi seorang Kpopers, seperti ini adanya.

Senin, 30 Juni 2025

Kenapa Masih Suka EXO? (Part 2)


Kebahagiaan itu ada beragam bentuk. Setiap orang punya kebahagiaan versinya masing-masing. Dalam versiku, EXO menjadi salah satu bentuk kebahagiaan yang begitu berarti. 

Dari dulu hingga sekarang, semua member EXO tetap menjadi dirinya yang selalu kita kenal. Tidak ada yang berubah satupun. Mereka ingin bisa selalu dekat dengan fans, berinteraksi seseru dan sesering mungkin, serta menunjukkan emosinya baik sedang bahagia maupun saat menghadapi kesulitan. 

Hal ini tentunya tidak terlepas dari peran Suho sebagai seorang Leader dalam menjaga perkembangan karakter setiap member dan meningkatkan semangat EXO agar bisa tetap utuh. 

Suho, Leader yang stabil dalam menghadapi setiap situasi

Walaupun ada banyak perubahan yang terjadi, Suho tetap berusaha menyatukan member. Meyakinkan EXOL bahwa semuanya akan tetap baik-baik saja. 

Suho, Leader yang selalu jujur pada diri sendiri, penuh perhatian dan sabar                        

Dengan memberikan rasa sayang yang tulus, Suho menjadi dekat dengan member-member EXO dan mereka pun sangat menyayangi Suho layaknya seorang kakak. Ia menunjukkan kedekatannya melalui perhatian-perhatian kecil seperti memastikan member selalu merasa nyaman dan memotivasi mereka ketika merasa ragu. 

Suho, Leader yang selalu menjaga identitas dan nilai-nilai EXO 

Sebagai seorang Leader, sangat penting untuk dirinya menjaga keberadaan grupnya di depan publik dengan identitas dan nilai-nilai yang selalu ingin dibawa. Suho adalah Leader yang konsisten menekankan pentingnya kerja keras, kebersamaan, dan rasa hormat kepada para penggemar. 

Suho, Leader yang terasa seperti 'Rumah' bagi semua member EXO

Suho menjadi Leader yang tumbuh bersama semua member EXO, keluarga yang sangat ia cintai. Dalam diam bahkan ketika sesuatu hal ternyata tidak berjalan ideal, Suho selalu ada untuk semua member. 

Bagi EXOL, Suho adalah Leader yang sangat berharga. Seseorang yang membuat EXOL percaya kalau EXO akan tetap ada, apapun yang terjadi.

Ia selalu berbicara dengan hati, membawa EXO dengan penuh kasih sayang, ketenangan, dan disertai prinsip yang kuat sehingga EXO bisa bertahan hingga saat ini.

We are One, EXO Saranghaja!


Kenapa Masih Suka EXO? (Part 1)

Sejak dulu, aku ingin menyukai EXO dengan bagaimanapun mereka. Rasanya, aku sudah menumbuhkan perasaan yang begitu dalam terhadap mereka walau belum begitu lama mengenalnya. Setiap menyaksikan kehadiran mereka, aku seperti mendapatkan suatu kebahagiaan yang aku ingin miliki selamanya. Hati ini berkata, "I think, I have met my true love in K-pop❤️"

Aku yang dulu di usia remaja, memang sangat menyukai EXO karena visual dan talenta mereka yang menakjubkan. Di saat itu juga, aku berpikir bahwa mungkin aku hanya akan menyukai EXO saja di antara banyaknya grup K-pop lainnya. Namun, rasa suka ini sejujurnya lebih dari kekaguman akan rupa, kemampuan vokal dan dance mereka semata.

Perasaan ini adalah perasaan yang hanya akan aku curahkan kepada EXO yang selalu hadir bukan hanya untuk menghibur, tetapi juga membawa kita sebagai fans ke berbagai momentum dimana kita dapat saling menghangatkan satu sama lain dan membangun lebih banyak cerita yang bermakna. 


EXO dan EXOL, semua itu tentang koneksi. Hubungan ini bukan hubungan satu arah, EXO selalu bisa memenangkan hati EXOL dengan beragam cara. EXO selalu menyebutkan EXOL di setiap penampilan mereka, menuliskan lagu untuk fans-nya, dan terus bertahan karena ingin terus bahagia bersama semua fans yang sangat mereka sayangi. 



"EXOL adalah alasan kami masih di sini", ucap semua member EXO yang sangat menghargai setiap detik kehadiran fansnya, seseorang yang sudah dianggap seperti keluarganya sendiri.  

Detak jantung pun seketika langsung berdebar kencang setiap mendengar member berkata  "We are One".

We are One, bukan hanya sekadar slogan. Tetapi, menjadi sebuah semangat untuk menguatkan dan tetap bertahan sampai kapanpun itu. Dan kami, EXOL, pun bertahan. Kami mencintai mereka bukan karena sempurna, karena kami tahu bahwa cinta ini dibangun bersama
🩷🩷

EXO mengingatkan aku bahwa bertahan itu indah dan akan selalu menjadi demikian. 
Seperti yang Suho pernah katakan juga, "Jika menunggu itu menyenangkan, maka itulah cinta."

Minggu, 29 Juni 2025

EXO is Home, It's REAL!

 

Rumah, sebuah tempat kita berpulang untuk menemukan kenyamanan yang sesungguhnya. Kemana pun kita berpergian, Rumah selalu membuat kita rindu akan beragam cerita dan kenangan di dalamnya.

Bagiku, EXO adalah rumah dimana aku merasakan beragam bentuk cinta dan kebahagiaan. Bukan hanya sekadar seorang fans yang begitu mendambakan idolanya, tetapi ada sebuah ketulusan yang begitu nyata, yang menguatkan perasaan ingin selalu bersama dalam menyusuri irama kehidupan ini. 

Sejujurnya, aku tidak pernah menyangka akan kembali menjadi seorang EXOL setelah sempat beberapa tahun hiatus dari K-pop. Kala itu, ambisi dan ketakutan berkecamuk di dalam diriku yang baru memasuki kerasnya dunia kerja. Aku selalu melangkah dengan diriku yang ingin eksplorasi lebih dalam lagi, meyakini bahwa waktu terus berlari begitu cepat dan aku tidak  boleh berdiam begitu saja. Bisa dibilang, aku ingin menjadi "Anak Ahensi" yang kata orang-orang kebanyakan itu.. anak ngonten yang ngide banget! Hahaha

Mungkin memang pada akhirnya aku sudah asyik jadi anak ahensi yang suka ngonten. Tetapi, jiwa EXOL yang ada di sudut hatiku ternyata masih utuh. Tepatnya setelah beberapa bulan menjadi warga neon alias NCTZEN, hasil dari scrolling FYP TikTok yang menjadi hobi baruku saat pandemi kemarin, aku yang entah kenapa tiba-tiba bertanya pada diriku sendiri. 

Aku bertanya, "Perasaan dulu tuh EXO deh yang aku suka banget, tapi kok makin kesini aku rasanya kaya ngelupain mereka?, Malah sekarang jadinya aku nge-stan grup idol lain." 

Walaupun sebenarnya tidak ada kata salah bagi setiap K-popers kalau-kalau ia ingin mengidolakan grup K-pop lainnya. Tetapi aku yang baru saja menyadari statusku sebagai EXOL seakan bangkit kembali, seperti merasa sangat bersalah sudah meninggalkan EXO cukup lama. Di sini aku melihat sekaligus mengalaminya sendiri bahwa EXO adalah rumah yang membawaku tinggal selamanya, rumah yang membuat EXOL merasa aman, dimengerti, dan diterima tanpa harus menjadi siapa-siapa.

Dengan perasaan senang yang begitu kentara, aku bangga menyatakan kepada diriku kalau aku benar-benar telah menjadi EXOL kembali, sampai nanti dan seterusnya. Seorang fans yang ingin merasa dekat lagi dengan idola-idolanya yang juga selalu menyayanginya. 

EXO is my home, my forever love!🩷





Rabu, 27 Januari 2021

Cerpen: Hujan dan Kamu

Sebelumnya aku tidak pernah selama ini menatap air hujan yang terus berjatuhan membasahi seluruh sudut kota. Aku juga tidak pernah merasakan kesenangan sampai sejauh ini setiap musim hujan tiba. Saking senangnya, aku berinisiatif untuk melakukan beragam hal agar bisa lebih menikmati tetes demi tetes air yang langit berikan di balik jendela. Selalu terpikir olehku untuk tidak melewatkan begitu saja momen ini. Karena aku memiliki tipe mulut yang ingin mengunyah apa pun yang enak-enak, maka aku jadi lebih sering menyaksikan indahnya rintikan maupun derasnya hujan. Kalau tidak begitu, kemungkinan besar aku akan memutar playlist lagu bernada lembut dimana diantaranya adalah lagu-lagu yang kamu rekomendasikan untukku. Kamu adalah Adrian, seseorang lelaki yang berhasil membuatku jatuh cinta dengan setiap datangnya hujan sekaligus membawaku masuk menuju dirimu yang selalu menyejukkan hatiku.

 Setelah berminggu-minggu lamanya menjalani masa ospek beberapa tahun silam, aku ternyata jadi bisa lebih mengenalmu. Kala itu, kamu adalah mentor yang ditugaskan untuk mendampingi kelompokku. Sejak dulu, pribadi khas dirimu yang menyenangkan sudah begitu terasa. Di saat kebanyakan senior berlomba-lomba memasang wajah paling menakutkannya, kamu justru asyik dengan caramu menghidupkan suasana kehangatan bersamaku dan lainnya. Dengan benar-benar apa adanya, kamu memberitahukan bahwa kami merupakan sejumlah orang-orang yang akan merasakan beragam keseruan nantinya dengan mengenyam perkuliahan di jurusan ini. Sebenarnya sebelum aku tahu hal ini darimu, aku sudah pernah dengar bagaimana asyiknya jurusan Periklanan. Ada banyak proses kreatif di dalamnya. Kita akan diajak mengeksplorasi lebih banyak dunia untuk mencetuskan sebuah ide yang tidak terduga. Ini menjadi alasan utama yang mendorong aku ingin mendalami sebuah ilmu yang bisa membuat kita bahagia dengan sederhana. Tetapi, semenjak ada kamu yang datang disertai hujan, alasan yang aku miliki kian bertambah.

 Saat itu sore lebih cepat meredupkan cahaya gemilangnya. Gerombolan awan tebal seperti sudah tidak sabar menggantikan kehadirannya. Alhasil, percikan air deras dengan sekejap menyelimuti kehidupan kampus yang silih berganti suasananya. Biasanya di tengah hari sekarang ini, ada perkumpulan-perkumpulan mahasiswa yang menciptakan keramaian. Terlebih jika sedang hujan, mereka akan bersama lebih lama. Namun tidak denganku. Aku lebih banyak menghabiskan waktu sendiri. Waktu perkuliahan hari ini sudah usai dari beberapa jam yang lalu dan aku memilih membaca buku novel terlebih dahulu di sebuah pojokan kosong tidak jauh dari kelasku tadi sebelum pulang. Lembar demi lembar sudah kulewati, sementara hujan belum lekas reda. Sambil melanjutkan bacaanku kembali, aku berharap hari yang sudah terlanjur digenangi air hujan yang lebat ini agar bisa memulihkan kembali segala aktivitas yang sempat terhenti. Dalam benak diriku yang masih belum lama menjadi mahasiswa ini, hujan tidak lebih dari tumpahan banyak air dari langit. Benar-benar tidak pernah mengagumi kemunculannya.

Kelihatannya hujan sedang tidak mendengarkan kata hatiku yang menginginkannya bergegas pergi. Tandanya aku juga harus melepaskan harapanku dan mencari cara lain agar tetap bisa duduk tentram di tengah hamparan air hujan di luar sana. Seperti yang sudah pernah kusebutkan, aku sangat suka mulutku mengunyah dan mengecap makanan. Jadi setelah sudah merasa puas menekuni hobi, aku tanpa pikir panjang akan melahap makanan yang ada di sekitarku. Kali ini, aku harus berjalan menuruni anak-anak tangga terlebih dahulu untuk menuju kantin. Ah iya, dalam hal memilih makanan, aku memiliki kelebihan sedikit unik dibandingkan cewek-cewek pada umumnya. Ketika memutuskan akan membeli makanan apa, aku tidak memerlukan waktu panjang. Dan aku sedang ingin melahap bakso gepeng bercampur saos sambal yang sekejap meningkatkan kehangatan.

Baru saja memasuki area kantin sebentar, kedua kakiku memberhentikan langkahku. Mataku ternyata bekerja lebih cepat, aku menemukan seorang Adrian menempati meja di salah sisi ujung kantin. Sendiri menatap layar laptop bersama segelas kopi susu. Pikirku tidak ada salahnya jika aku menghampirinya dan menyapanya. Seketika pergerakan seluruh tubuhku menyatu dengan segala unsur kehidupan yang ada di sana.

 "Halo kak Adrian, lagi nugas sendirian aja nih?" Sapaku seraya bersorak pelan.

"Woi Rin, lebih tepatnya lagi iseng baca artikel aja," jawabnya dengan setengah tertawa.

"Oh..haha dikirain lagi syuting jadi mahasiswa teladan walau hujan menerjang" , aku mencoba menambahkan bumbu komedi agar percakapan semakin mencair.

"Tentu tidak, kalau itu nanti ada sesinya sendiri dong, hahaha."

"Eh itu muka kok kelihatannya kaya lesu gitu? Pasti lo belum makan enak ya hari ini." , ujar Kak Adrian beserta senyum kecilnya.

"Tahu aja lo kak, hahaha. Makanya ini gue mau ngehabisin semua porsi bakso gepeng yang masih ada."

"Cakeep! Kalau gitu, lo makannya di meja bareng gue sini aja ya. Biar ada suporter yang bisa nyemangatin lo buat ngehabisin bakso gepengnya. Alias, gue bisa minta."

 

Jika aku ladeni terus celotehan-celotehanmu itu maka perutku akan menggurutu dan aku paling tidak bisa menahannya. Sembari melepas tawa bahagia, perlahan aku memutar balikkan badan ke arah dimana gerobak bakso gepeng berada.

 

Dari caramu bercerita, terlihat jelas kalau kamu secara sukarela masuk ke dalamnya. Mangkok bakso gepeng pedasku memang sudah kosong tetapi aku masih ingin menghanyutkan diriku ke dalam kehangatan yang kau hadirkan dari cerita-ceritamu. Entah bagaimana alurnya, hujan menduduki topik pembicaraan terpanjang kita. Uraian tentang hujan yang kamu sampaikan seolah-seolah memperlihatkan kamu sudah sangat akrab dengannya. Katamu, hujan menyegarkan pikiranmu dari kepenatan, hujan setia menemanimu melalui suaranya yang indah, dan hujan mengajarkanmu untuk lebih memperhatikan yang ada di dekat kita. Dengan begitu, kamu bisa memahami makna hidup yang sesungguhnya. Jangan salahkan aku kalau sejak itu aku tergerak ingin menemuimu setiap hujan turun. Semua tentang hujan yang kau lontarkan membukakan banyak pintu  dalam batinku. Apakah kamu bisa membayangkan betapa gembiranya aku mendapati seseorang tepat di sampingku menyelaraskan kembali warna hidupku yang rentan pudar.

 

Jujur, terkadang semangatku membara jika mendengar bunyi pesan masuk berulang kali secara bersamaan dari telepon genggamku. Seakan ada seperangkat pesan baik yang dirancang khusus untukku. Bukan lagi imajinasiku, pesan baik itu memang benar ada dan berasal dari kamu. Di dalam pesan itu, kamu mengajak aku untuk mendaftar menjadi anggota mahasiswa pecinta alam di kampus kita. Kamu yang sudah lebih dulu masuk tampak sangat antusias mengikutsertakanku untuk berteman lebih dekat lagi dengan alam. Kamu memang sudah sebegitu cintanya dengan alam dan aku selalu mengaguminya. Kebetulan juga, aku belum mengikuti kegiatan atau organisasi mahasiswa apapun sampai detik ini. Tanpa pikir panjang, aku pun mengiyakan ajakanmu.

 

Kondisi fisik yang memumpuni tentu sangat penting dalam melakukan berbagai aktivitas alam. Karena itu, aku melatih kekuatan tubuhku dengan berolahraga jogging. Dan lagi-lagi kamu menawarkan sesuatu yang lagi-lagi membuaiku. Atas dasar alasan agar aku bisa lolos seleksi anggota mahasiswa pencinta alam, kamu ingin lebih sering hadir sebagai penyemangat yang menemaniku jogging selepas perkuliahan. Di antara hari-hari kebersamaan kita tersebut, hujan kembali menghampiri. Hujan membuatku lebih memahami bagaimana dirimu. Sekalipun rintik hujan sudah mulai memperlihatkan wujudnya, kamu terus melaju dengan selalu menyematkan mimik wajah yang paling girang dibanding yang pernah aku lihat selama ini. Kamu, aku, dan hujan, kita bertiga sudah resmi menjadi tiga sekawan yang tidak akan terpisahkan.

 

Sekarang aku mengerti mengapa aku diberikan tempat duduk tepat sebelah jendela di kantor. Setiap hujan turun, aku bisa lebih merasakan keberadaan dirimu walaupun kamu sedang berada jauh dariku. Cintamu kepada alam yang dalam membuatmu tiada henti menjelajahinya, kamu ingin mengungkapkan lebih banyak lagi keindahannya kepada seluruh manusia. Aku masih di sini menunggu kedatanganmu meski entah kapan kamu bisa memastikannya. Yang jelas kutahu, kemana pun kamu pergi, kamu selalu menggengam erat hatiku. Hujan dimana pun akan tetap sama, sama-sama bertekad menyatukan kita. Di hari yang indah nanti saat kita bertemu lagi, aku yakin hujan akan turun untuk memeriahkannya.

 

Kamis, 26 November 2020

Cerpen: VESPA (belum selesai)

Ada yang kutunggu hampir setiap hari. Padahal datangnya juga suka tidak menentu. Itu terserah padamu atau padaku. Yang penting kita sama-sama menyepakatinya. Bisa saja pagi ketika aku bersiap untuk meninggalkan rumah, malam minggu yang masih belum larut, atau bahkan tiba-tiba di suatu siang, suara itu muncul. Ya, suara vespamu yang begitu nyaring dan berhasil melekat di pikiranku sampai saat ini. Letak kamarku yang kebetulan berada di paling depan membuat aku selalu menjadi orang pertama yang mendengarnya. Ingat betul bagaimana dulu senangnya aku memulai hari-hari yang baru dengan suara yang sama. Dari semalamnya pun, aku sudah sibuk sendiri meriangkan hati. Bukan hanya perihal menyiapkan penampilan yang sejalan. Tapi, aku lebih tergelitik untuk memadukan berbagai hal yang aku alami untuk dijadikan topik pembicaraan sewaktu ditemani vespa kesayanganmu itu.
 

Aku jauh lebih suka suara khas mesin vespamu ketimbang suara-suara yang kerap berseliweran di rumah. Lebih tepatnya di dalam rumahku. Berkali-kali hentakan tangan beradu dengan teriakan yang benar-benar meningkatkan gerah. Kalau bukan ruang tamu, biasanya suara menyebalkan itu berasal dari kamar tidur yang tidak jauh dari kamarku. Kegeraman yang aku rasakan semakin memuncak saat waktu seharusnya aku bisa menenangkan diri senyaman mungkin. Bayangkan ketika kamu sedang terlelap menikmati indahnya mimpimu sekejap semuanya menjadi buyar karena ada suara yang memaksa masuk dari dunia nyata. Jelas kesal bukan main. Bagi sebagian besar orang, bersahabat dengan kasur yang sudah usang sekalipun merupakan salah satu kepingan hidup yang didambakan. Setiap tempat berbaring mengajarkan kita untuk tidak lupa memanjakan tubuh usai pontang-panting menyusuri jalur menuju kepastian.  Melepaskan sejenak apapun yang membebani. Namun sayangnya, aku tidak bisa menikmatinya sesering mereka. Suara dari luar kamarku merampas momen terbaik yang semestinya aku dapatkan bersama kasur yang lembut. Pernah terbesit di benakku untuk mencari tempat berbaring baru sejauh mungkin. Pada akhirnya, aku tidak sekuat itu melakukannya. Ibu  menghentikannya. Ia tidak menahan aku untuk pergi melainkan suara tangisannya yang aku dengar dari kamar lebih mahir menggoyahkan relung hati. Entah sudah berapa banyak air matanya yang sudah bercucuran dengan percuma. Sekuat dan seberapa banyak apapun tangisan Ibu tidak akan pernah mampu merubah kebiasaan ayah yang suka mempergunakan uang dengan seenaknya. Ah, tersebutkan juga panggilan untuk seseorang yang paling tidak ingin kusebutkan. 

Bagiku, ayah tidak sepenuhnya ada di dalam hidupku. Sedari dulu, aku sangat mengerti bahwa hanya ibu seorang yang selalu hadir mengisi keseharianku. Satu lagi sosok yang juga berusaha tetap setia menyambangiku yaitu kamu dan motor vespamu yang bernama Blumik alias si Blue Ciamik. Kalian berdua sukses besar membawaku pergi dari bangunan kecil beratap merah bata dan masih cukup tentram untuk dipandang sebentar dari luar. Tidak heran, sesekali kamu beserta Blumik betah menanti kedatanganku walau hanya di depan pagar. Dengan menikmati suasana luar rumahku itu, kamu juga bisa sambil memutar kembali playlist lagu indie pop andalan kamu tanpa harus merisaukan sedikit suara gaduh dari dalam rumah yang mungkin saja terdengar. 

Orang yang gemar bercerita seperti aku memang ada saja yang ingin dibicarakan. Sesingkat apapun cerita menyenangkan yang dibagikan, selalu aku yakini akan menciptakan kehangatan diantara kita berdua. Cerita yang paling berkesan adalah bagaimana aku sebagai seorang perempuan yang tidak begitu lekat dengan dunia perempuan itu sendiri secara kilat tertarik kepada aneka macam bunga. Sebelumnya aku melihat bunga hanya sebagai pajangan yang lambat laun akan memudar, seakan keberadaannya hanya diinginkan di waktu tertentu saja. Jika ada lelaki yang menawariku antara bunga atau makanan pun aku akan langsung memilih makanan. Cantiknya bunga hanya bisa dipandang sedangkan makanan langsung serasa merubah segala-segalanya jadi lebih baik. Seperti itulah isi pemikiranku tentang bunga. Sampai pada suatu siang penghujung kuliah, sebagian teman-teman perempuanku berkerumun di dekat sudut pintu kelas. Kedua mataku ikut tertuju dimana keramaian itu terletak. Dari jauh, nampaknya mereka seperti sedang merencanakan hal yang seru. Ternyata memang persis seasyik pemikiranku, mereka ingin berpergian ke suatu tempat! Tepatnya taman bunga yang letaknya tidak begitu jauh dari kampus kami. Dengan berbekal secercah keinginan jalan-jalan semata, aku pun mengiyakan untuk ikut serta dalam keseruan tersebut. Di saat teman-temanku saling sahut menyahut mempersiapkan gaya berfoto di tengah rangkaian bunga nanti, aku hanya sesekali memandanginya.

Kamis, 03 September 2020

Cerpen: Membisu

 Sudah dibuat terheran-heran orang menghadapinya. Lelaki yang bernama Joni itu masih saja setia berkawan dengan kursi ruang tamunya. Duduk tentram dan menyaksikan apa saja yang terjadi di luar sana melalui televisi setiap harinya. Barangkali ada yang akan membuatnya tergerak untuk melakukan sesuatu. Kenyataannya, ia tetap terdiam dan membisukan diri. Keinginan untuk tumbuh lebih baik sudah membeku, sepenuhnya membiarkan perjalanan hidupnya berlangsung begitu saja. Joni nampaknya sudah benar-benar tidak peduli dengan beragam kecaman yang pernah menghampirinya hingga memasuki umur kepala tiganya saat ini. Di saat banyak orang yang sedang berlomba-lomba memantaskan diri menjadi sosok yang diidamkan, Joni hanya sibuk memikirkan cara bagaimana ia bisa menetap lebih lama bersama ketidakacuhannya. 

Rumah yang tidak seramai dulu sepertinya membuat Joni semakin terperangkap dalam kesunyian. Pintu kamarnya yang tadinya kerap mempersilahkan Joni untuk selalu bercengkrama dengan kakak kandungnya, sekarang ikut serta menenggalamkan segala hiruk pikuk yang pernah hinggap. Orang-orang yang sangat disayanginya itu telah pergi seenaknya. Teriris langsung batin Joni setiap mengingat betapa beraninya kedua kakak kandungnya meninggalkan dia seorang diri tanpa memberikan sepatah kata yang seharusnya ia dengarkan. Hidup memang menawarkan sejumlah pilihan dan ini membuat Joni sangat geram melihat semua kakaknya tidak ada yang lihai dalam memutuskan pilihan. Jika dibandingkan, sejujurnya kakak keduanya, Danu, sedikit lebih berperasaan. Pada beberapa sore setiap akhir pekan, Danu sesekali mengajak Joni mengitari jalanan di sekitar rumah mereka. Sama halnya anak-anak muda pada umumnya, mereka juga memiliki tempat favorit untuk saling bercerita dan bertukar pikiran. Di sinilah kenangan manis Joni bersama kakak kandung keduanya itu banyak terukir. Suatu ketika selama perbincangan berlangsung, Danu tiba-tiba memasang ekspresi wajah paling seriusnya. Joni jelas terkesiap bukan main. Ia tahu betul kalau Danu sedang menyiapkan dirinya untuk mengutarakan sesuatu yang harus disimak seksama.

“Jon, seandainya kamu nanti terpaksa menjalani hidup sendirian, kamu akan bagaimana?”, tanya Danu.

Mendengar pertanyaan yang dilontarkan Danu tersebut, Joni berusaha menstimulasi kinerja isi kepalanya sekeras mungkin agar bisa menjawabnya. Sudah terlalu lama Joni tidak bekerja sama dengan akal sehatnya untuk mengkritisi segala hal yang patut dikritisi, termasuk dia. Danu sukses mengobrak-abrik batin Joni dalam paduan kata yang sangat mengharapkan sebuah reaksi yang lebih dari biasanya. Namun, Danu ternyata tidak bisa membuat nyata harapannya itu. Joni masih saja terdiam sambil sesekali menyeruput kopi yang selalu ia pesan. Sebenarnya, Danu sudah terlampau lelah menerka-nerka gelagat Joni yang seolah membodohi dirinya sendiri. Ingin meluapkan emosinya yang sudah membara. Tetapi, tidak bisa. Danu merasa tidak pantas untuk melakukannya. Banyaknya pergantian siang dan malam yang dilalui tidak membuatnya menjadi lebih baik dari adiknya. Yang lebih disayangkan lagi, hari itu rupanya mengakhiri pertemuan dua mata yang saling mengasihi namun pada akhirnya tidak ada satupun yang bergumam dengan semestinya. Sampai pada hari-hari selanjutnya Joni menemukan secarik kertas di meja samping tempat tidurnya. Benar saja, Danu memutuskan untuk pergi jauh yang Joni tidak tahu kemana tujuannya. Kakak keduanya itu ingin menjalani hidup di tempat yang berbeda, entah sampai kapan. Semua ini ia tuliskan dalam secarik kertas yang ada di meja tersebut.

Dipikir-pikir lagi, kakak pertamanya, Bari, tidak sepenuhnya pergi meninggalkan Joni. Ia bersemayam bersama istrinya di daerah yang diketahui pasti Joni masih bisa menjangkaunya. Mau tiba-tiba membuat kegaduhan agar kakaknya itu sadar akan keberadaan dirinya, Joni sebetulnya memiliki peluang yang cukup kuat. Namun, ia terlalu takut. Bukan kepada kakaknya, akan tetapi kepada kenyataan hidup yang mengharuskannya mengarungi berbagai sepak terjang yang mungkin lebih kejam. Sedari sebelum menikah, Bari terbiasa menunjukkan ketidakacuhannya, kelihatannya seperti tidak ada apa-apa. Mengerti akan hal itu, Joni enggan menyusun harapan lebih untuk kakaknya. Dibelikan makanan saja, tanpa ada bumbu yang tertoreh agar mereka bisa saling menyuarakannya, Joni sudah cukup bersenang hati. Kebisuan begitu tega mengusik ia dan kakak-kakak kandungnya. 

Kedua orang tua Joni sudah lama meninggal dunia. Joni sudah tidak lagi begitu merindukan kehadiran mereka. Dari sekian banyak rentetan perjalanan hidup yang ia jalani bersama kedua orang tuanya, Joni paling ingat bagaimana ibunya selalu berusaha melindunginya diantara rangkaian tantangan yang bersliweran di luar sana. Memang benar, tidak ada yang bisa menggantikan kasih sayang ibu yang sangat besar kepada anaknya. Beruntungnya, Joni juga menjadi salah satu yang merasakannya. Apa pun rintangan yang ia hadapi, ibunya akan selalu mengambil peran seutuhnya untuk membuat keadaan lekas membaik. Sekilas tampak biasa saja, tidak ada yang perlu dikuatirkan. Sang ibu sudah melaksanakan kewajibannya serta Joni juga sudah memperoleh hak yang seharusnya. Orang-orang yang terbilang cukup dekat dengan Joni dan ibunya pun tidak akan memberikan komentar dan tindakan sampai pada akhirnya Joni bertingkah tidak acuh sekaligus takut melangsungkan hidup hingga sekarang ini. Tanpa disadari, ibunya yang selalu memasang badan untuknya telah membentuk seorang Joni sebagai sosok pemuda yang tidak berani bermimpi besar. Joni sungguh sudah tidak mengerti perihal makna cita-cita. Baginya, bisa berdiri dan masih sempat memandang langit yang cerah saja sudah merupakan sebuah pencapaian. Selagi masih bisa bebas menghembuskan nafas walaupun menggantungkan dirinya kepada orang lain.